Menyusutnya produksi pertanian dan rusaknya tanah terjadi akibat tingkah polah manusia. Tanpa memperhatikan lingkungan, manusia sering melakukan berbagai aktivitas yang mengancam keselamatan lingkungan.
Untuk menjinakkan alam, manusia perlu memahami posisi mereka sebagai kawan dan saudara alam itu. Dengan perlakukan yang baik, alam dipercaya dapat bersahabat dengan manusia seperti zaman dahulu kala.
Ketua kelompok tani Sumber Rejeki, Pak Wardiyono, mengatakan pada zaman dahulu, petani tak mengenal pupuk kimia. Mereka bertani dengan memakai pupuk kandang yang ada di sekitar mereka.
Saat masa berubah, lalu pupuk kimia dikenalkan pemerintah, petani mulai memberikan pupuk itu ke tanah. Akibatnya, tanah justru menjadi
rusak.
“Program pemupukan kimia dan pestisida kimia adalah program pemerintah yang membuat semua keseimbangan alam terganggu. Jadi jangan salahkan petani. Petani tak mengenal hal itu pada zaman dulu,” kata lelaki 48 tahun itu saat saya temui di sanggar kelompok tersebut di Dukuh Sumber Kulon, Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jumat (11/7) pagi.
Selain itu, munculnya hama disikapi secara kurang arif oleh petani. Berbagai pestisida dan herbisida kimia disemprotkan kepada hama tanpa mempertimbangkan keberadaan organisme lain di areal persawahan
tersebut. Ular dan burung hantu yang membantu mengendalikan hama tikus
juga diburu oleh manusia. Hasilnya, organisme yang menjadi musuh alami hama berkurang.
“Apa yang hidup biarlah hidup. Kita, petani, hanyalah suporter. Kalau organisme musuh alami hama sudah kalah, barulah kita bertindak. Itupun
dengan perhitungan yang cermat. Kalau ada anggota kelompok yang mau
semprot pestisida, tim kami dari internal control system akan melihat
dulu lokasinya. Kalau tidak perlu, ya tak usah disemprot,” terangnya.
Dalam falsafah pertanian yang ia anut, Pak Wardiyono merasa kegiatan
pertanian bukan semata kegiatan mencari kesejahteraan. Lebih jauh,
bertani adalah upaya menyelamatkan alam dan menyehatkan lingkungan.
Untuk itu, sejak 2007 hingga saat ini, secara ekstrem, ia sama sekali
tak memberi pupuk kimia ke lahan pertanian miliknya. Ia hanya
memberikan limbah ternak dan tanaman serta jerami sisa panen di lahan miliknya. Namun, ia membuktikan, dengan cara itupun, tanah masih mampu memberikan hasil yang cukup bagus. Ia menceritakan, dengan luas tanah 2.300 meter persegi, biasanya petani mendapat hasil Rp3,5 juta-Rp4 juta saat panen. Namun, ia nekat bertani tanpa menggunakan pupuk kimia atau pembasmi hama kimia. Hasilnya, ia mampu mendapatkan uang Rp6,5 juta sekali panen.
“Saya sempat adakan sayembara. Siapa yang berani organik, saya sanggup mendampingi. Saya berani membeli harga gabah mereka selisih Rp1.000
dari harga pasaran. Kalau petani diberi stimulus dan merasa untung, saya yakin mereka mau melakukan,” ujarnya.
Ia menekankan adanya harmonisasi antara alam dengan manusia. Ia mengibaratkan, tanah, air dan api sebagai saudara manusia. Jika tanah
dibantai dan air dirusak [dengan pupuk kimia], mereka bisa marah. Kemarahan alam itulah yang kini dirasakan dampaknya oleh manusia, khususnya petani.
“Mereka saudara kita. Sebagai petani organik, enggak boleh membunuh, cukup dikendalikan. Secara alami, kalau ada hama, pasti ada musuh alaminya. Hama itu ibarat penjahatnya, musuh hama itu ibarat polisi. Hal itu adalah keseimbangan alam. Petani hanya berususan dengan tanaman. Kalau tanaman lapar, ya dikasih pupuk. Kalau haus ya dikasih air,” urainya.
Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Tengah bidang tanaman pangan, Pak Atok Susanto, saat saya temui di Delanggu, Klaten, seusai pertemuan dengan Pak Wardiyono, mengatakan secara umum, kondisi tanah di Solo Raya, bahkan Jawa Tengah sudah rusak. Hal itu, kata dia, disebabkan oleh
penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida kimia secara berlebihan.
“Makhluk-makhluk di tanah yang berperan menyuburkan tanah habis. Lebih riskan, bakteri patogen cepat berkembang sehingga tanah sangat mudah menjadi asam. Efeknya, tanaman, khususnya padi cepat layu dan mati,” terangnya.
Ia menilai, kejadian itu terjadi karena tak ada lagi harmonisasi manusia dengan alam kearifan lokal dari manusia hilang tak berbekas. Terlebih, banyak petani yang bukan pemilik lahan sehingga mereka memperlakukan tanah sesuka hati demi mendapatkan hasil lebih.
“Pupuk kimia itu ibarat minuman penambah energi bagi tubuh manusia.
Awalnya, tubuh jadi merasa kuat. Tapi sebenarnya, tubuh sedang digerogoti. Jadi, tanah dipaksa berproduksi dengan hebat, lalu hasilnya kesuburan tanah, unsur hara justru habis dengan pupuk kimia,” kata dia.