Sibuk

Januari 1, 2015

Beberapa waktu terakhir ini blog jarang aku sambangi. Maklum, banyak kesibukan. Pekerjaan menumpuk dan seabreg agenda lain.

Salah satu yang menyita waktu adalah pembangunan gubuk buat istri dan anak. Lokasinya di Ngringo, Jaten, Karanganyar. Enggak terlalu jauh dari Kota Solo. Jadi, kalau mau main ke Solo, gampang.

Rumah itu mulai dibangun pertengahan 2014. Hingga hari ini juga belum jadi. :-). Pakai dana utang dari beberapa orang, termasuk ibu mertua. Dapat bantuan dana dari ayah-ibu, termasuk kayu-kayu untuk kusen dan lain sebagainya.

Update selanjutnya, next time yak…. Maklum, lama enggak ngeblog, jadi masih kaku buat nulis banyak-banyak.Rumah setengah jadi

 

 

 

 

Iklan

Manusia Harus Berharmoni dengan Alam

Juli 15, 2014

Menyusutnya produksi pertanian dan rusaknya tanah terjadi akibat tingkah polah manusia. Tanpa memperhatikan lingkungan, manusia sering melakukan berbagai aktivitas yang mengancam keselamatan lingkungan.
Untuk menjinakkan alam, manusia perlu memahami posisi mereka sebagai kawan dan saudara alam itu. Dengan perlakukan yang baik, alam dipercaya dapat bersahabat dengan manusia seperti zaman dahulu kala.
Ketua kelompok tani Sumber Rejeki, Pak Wardiyono, mengatakan pada zaman dahulu, petani tak mengenal pupuk kimia. Mereka bertani dengan memakai pupuk kandang yang ada di sekitar mereka.
Saat masa berubah, lalu pupuk kimia dikenalkan pemerintah, petani mulai memberikan pupuk itu ke tanah. Akibatnya, tanah justru menjadi
rusak.
“Program pemupukan kimia dan pestisida kimia adalah program pemerintah yang membuat semua keseimbangan alam terganggu. Jadi jangan salahkan petani. Petani tak mengenal hal itu pada zaman dulu,” kata lelaki 48 tahun itu saat saya temui di sanggar kelompok tersebut di Dukuh Sumber Kulon, Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jumat (11/7) pagi.
Selain itu, munculnya hama disikapi secara kurang arif oleh petani. Berbagai pestisida dan herbisida kimia disemprotkan kepada hama tanpa mempertimbangkan keberadaan organisme lain di areal persawahan
tersebut. Ular dan burung hantu yang membantu mengendalikan hama tikus
juga diburu oleh manusia. Hasilnya, organisme yang menjadi musuh alami hama berkurang.
“Apa yang hidup biarlah hidup. Kita, petani, hanyalah suporter. Kalau organisme musuh alami hama sudah kalah, barulah kita bertindak. Itupun
dengan perhitungan yang cermat. Kalau ada anggota kelompok yang mau
semprot pestisida, tim kami dari internal control system akan melihat
dulu lokasinya. Kalau tidak perlu, ya tak usah disemprot,” terangnya.
Dalam falsafah pertanian yang ia anut, Pak Wardiyono merasa kegiatan
pertanian bukan semata kegiatan mencari kesejahteraan. Lebih jauh,
bertani adalah upaya menyelamatkan alam dan menyehatkan lingkungan.
Untuk itu, sejak 2007 hingga saat ini, secara ekstrem, ia sama sekali
tak memberi pupuk kimia ke lahan pertanian miliknya. Ia hanya
memberikan limbah ternak dan tanaman serta jerami sisa panen di lahan miliknya. Namun, ia membuktikan, dengan cara itupun, tanah masih mampu memberikan hasil yang cukup bagus. Ia menceritakan, dengan luas tanah 2.300 meter persegi, biasanya petani mendapat hasil Rp3,5 juta-Rp4 juta saat panen. Namun, ia nekat bertani tanpa menggunakan pupuk kimia atau pembasmi hama kimia. Hasilnya, ia mampu mendapatkan uang Rp6,5 juta sekali panen.
“Saya sempat adakan sayembara. Siapa yang berani organik, saya sanggup mendampingi. Saya berani membeli harga gabah mereka selisih Rp1.000
dari harga pasaran. Kalau petani diberi stimulus dan merasa untung, saya yakin mereka mau melakukan,” ujarnya.
Ia menekankan adanya harmonisasi antara alam dengan manusia. Ia mengibaratkan, tanah, air dan api sebagai saudara manusia. Jika tanah
dibantai dan air dirusak [dengan pupuk kimia], mereka bisa marah. Kemarahan alam itulah yang kini dirasakan dampaknya oleh manusia, khususnya petani.
“Mereka saudara kita. Sebagai petani organik, enggak boleh membunuh, cukup dikendalikan. Secara alami, kalau ada hama, pasti ada musuh alaminya. Hama itu ibarat penjahatnya, musuh hama itu ibarat polisi. Hal itu adalah keseimbangan alam. Petani hanya berususan dengan tanaman. Kalau tanaman lapar, ya dikasih pupuk. Kalau haus ya dikasih air,” urainya.
Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Tengah bidang tanaman pangan, Pak Atok Susanto, saat saya temui di Delanggu, Klaten, seusai pertemuan dengan Pak Wardiyono, mengatakan secara umum, kondisi tanah di Solo Raya, bahkan Jawa Tengah sudah rusak. Hal itu, kata dia, disebabkan oleh
penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida kimia secara berlebihan.
“Makhluk-makhluk di tanah yang berperan menyuburkan tanah habis. Lebih riskan, bakteri patogen cepat berkembang sehingga tanah sangat mudah menjadi asam. Efeknya, tanaman, khususnya padi cepat layu dan mati,” terangnya.
Ia menilai, kejadian itu terjadi karena tak ada lagi harmonisasi manusia dengan alam kearifan lokal dari manusia hilang tak berbekas. Terlebih, banyak petani yang bukan pemilik lahan sehingga mereka memperlakukan tanah sesuka hati demi mendapatkan hasil lebih.
“Pupuk kimia itu ibarat minuman penambah energi bagi tubuh manusia.
Awalnya, tubuh jadi merasa kuat. Tapi sebenarnya, tubuh sedang digerogoti. Jadi, tanah dipaksa berproduksi dengan hebat, lalu hasilnya kesuburan tanah, unsur hara justru habis dengan pupuk kimia,” kata dia.


Menyapa Kembali

Maret 5, 2014

KERING DI PENGHUJUNG MUSIM

Agustus 5, 2012

Pohon-pohon jati meranggas. Daun-daunnya berguguran tak beraturan. Pun demikian pula kondisi daun tanaman olokopok, layu. Rerumputan di kanan kiri jalan juga terlihat kering. Hampir semua lahan ladang yang masih ditumbuhi singkong merekah, retak-retak di semua sisinya. Meski hari baru menunjukkan jam tiga sore, tetapi hembusan hawa dingin terasa menusuk kulit. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Sudah sekitar sebulan kejadian seperti  ini terjadi di daerah perbatasan  antara Jawa Tengah-Yogyakarta. Tepatnya di Dusun Pakel, Desa Pringombo, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul.

Sutiman, pria paruh baya yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari bertani dan beternak sapi mengeluhkan kondisi ini. Sudah dua kali keluarganya terpaksa membeli air dari truk tangki bertuliskan 6000 liter yang akhir-akhir ini lalu lalang melewati perbatasan provonsi. Truk-truk itu mengambil air dari salah satu mata air di daerah Pracimantoro yang sudah masuk kawasan Wonogiri, Jawa Tengah kemudian mendistribusikannya ke hampir seluruh pelosok Kecamatan Rongkop. “Setangki harganya Rp 90.000 Mas,” ungkapnya dengan mimik muka datar bersemu sendu.

Sutiman terpaksa melakukannya, karena keluarganya membutuhkan air bersih untuk memasak, mencuci dan lebih-lebih karena seekor sapi tumpuan harapan yang dikandangkan di dekat rumahnya. Sapi itu perlu diberi komboran (air yang dicambur bekatul dan garam grosok) agar tidak kurus. Komboran tadi menjadi semacam suplemen makanan bagi sapi karena kurangnya makanan. Tujuannya, tak lain agar sewaktu-waktu membutuhkan uang bisa dijual dengan harga yang tidak terlalu jatuh. Pada kondisi musim seperti ini, daun-daun hijau susah didapat. Maka, banyak peternak di desanya yang rela membeli seikat pohon jagung seharga Rp 10.000 setiap hari demi sapi-sapi mereka. “Mau gimana lagi Mas? Kalau nggak diberi pakan, sapi saya bisa kurus kering,” ungkap Sutiman.

Sutiman masih cukup beruntung. Pada daerah yang lebih jauh dari perbatasan, harga satu tangki air bisa mencapai Rp 150.000. harga-harga tersebut diatur sepihak oleh pemilik truk. Masyarakat tak bisa apa-apa. Mereka tak punya pilihan, hanya mencoba bertahan dalam kondisi alam yang kurang bersahabat. Telaga-telaga yang dulu masih memiliki belik (ceruk tempat keluarnya air) di musim kemarau, sekarang tak lagi ada. Bahkan, telaga-telaga itu lebih tandus dari ladang-ladang yang ada. Aliran air PDAM juga telah berhenti mengalir. Pemerintah sampai saat ini belum mengambil tindakan apapun. Sutiman tak tahu, kapan langit akan bermurah hati menurunkan hujan? Ia hanya terus berharap.


PERJALANAN MENJADI JURNALIS PROFESIONAL #2

Juli 29, 2012

Setelah lolos wawancara, ada panggilan untuk psikotes. Selama sekitar dua jam aku mengerjakan soal-soal. Tak terlalu yakin, karena saat itu aku merasa tak terlalu mampu mengerjakan soal-soalnya. Bayang pun, ratusan soal kudu tak kerjakan. Dengan pressure seperti itu, membuat badan jadi capek dan berkeringat meski duduk di ruangan ber-AC. Wes, pokokmen tak garap…. Selesai tes, ada wawancara yang dilakukan oleh Jasa Psikologi Indonesia. Pertanyaan standar, dan kujawab dengan standar pula.

Nah, setelah tes itulah tingkat galaunya meningkat. Lamanya waktu menunggu, membuatku berpikir untuk beralih fokus pada CPNS. Yup, semua usaha untuk mendapatkan nafkah harus aku upayakan. Pasalnya, si jabang bayi di perut istri semakin membesar. Sebagai calon bapak yang bertanggungjawab (weitz), yo mau tak mau kudu berusaha. Kondisi ini tak hanya membuat stres, tetapi juga membuatku berada pada level galau tingkat dewa (ngek-ngok, ini istilahe Udin Lahore waktu masih di kosbul dulu).

Sudah desperate sebenarnya, sama sekali sudah tak berharap lolos seleksi lanjutan.. Apalagi, aku telah menunggu pegumuman seleksi tahap III dalam jagka waktu yang cukup lama; sekitar satu bulan. Kondisi psikologisku sebagai orang yang merasa (lagi-lagi) ditolak kerja sungguh down pada tanggal 26 Juli karena teman yang juga ikut seleksi bareng aku (saingan sebenere) mengabari lewat SMS kalau dia sudah ditelpon dan diterima. Fatalnya, saat itu, HP jadulku mengalami sedikit eror; tak bisa mengirim SMS, tak bisa di-miss call (karena sudah dicoba pakai HP istri)… Huwaaaaa…. Jangan-jangan ada panggilan, tapi karena HP eror jadi mereka gak bisa menghubungiku??? OH TIDAAAAKKKK…. Sampai kemudian HP merah warnanya itu dipencet-pencet oleh istriku. Tiba-tiba HP berdering. Ada panggilan juga. Alhamdulillah. Hihihi