Bermula dari sebuah pemahaman, maka apapun yang kita lakukan akan memberikan makna yang mungkin tidak dapat dipahami secara parsial. Pengertian tersebut tentu memiliki kaitan dengan adanya sebuah fenomena yang kadang disikapi secara tidak dewasa. Yah, pembahasan tentang konflik seringkali hanya berujung pada peng-kambing hitam-an salah satu atau beberapa pihak. Secara alamiah, seseorang akan mencari pembenaran atas tindakannya melalui jalan menyalahkan pihak lain. Secara psikologis, mekanisme ini dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis individu agar tidak “meledak”. Sayangnya, pemahaman tentang konflik ini seringkali tidak diimbangi dengan kekuatan psikologis sehingga terdapat beberapa pihak yang dirugikan walaupun sebenarnya secara substantif mereka tidak berhak mendapat status “bersalah”.
Adalah Ralp Dahrendorf, seorang ahli sosiologi yang mencetuskan Teori Konflik. Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini menilai bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya pemaksaan /tekanan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial.
Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten,kelompok kepentingan dan kelompok semu, posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik.
Sementara itu Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik yaitu :
1.Sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
2.Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3.Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4.Fungsi komunikasi,sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya konflik,posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas.
Jadi, segenting apapun keadaan, jika kita dapat melihat hal tersebut dari berbagai sisi, niscaya kita akan mendapatkan hikmah-hikmah di belakang kejadian. Tentu, kemampuan analisis SWOT untuk menentukan kondisi ini juga harus terus diasah agar kita tidak menjadi orang yang “grusah-grusuh” dalam menyikapi persoalan.