Tak Ada Kata Gagal

Mei 12, 2011

Gagal, yang dalam bahasa Inggris memiliki persamaan dengan kata failed atau  unsuccessfull ini merupakan momok yang bisa membuat seseorang berbalik arah dari harap menjadi putus asa.  ga·gal v 1 tidak berhasil; tidak tercapai (maksudnya): keinginannya untuk menjadi juara –; 2 tidak jadi: tahun ini panen –;
Baca entri selengkapnya »

Iklan

Penciptaan Kultur Ilmiah

Februari 24, 2010

Lama tak aku tulis untauan kata dalam blog ini sejak beberapa waktu lalu. gak tahu, adakah yang menungguku menulis tulisan-tulisan tak bermutu yang lebih sering hanya merupakan luapan amarah, emosi, kekecewaan dan kritik-kritik atas semua masalah dalam lingkupan hidupku. Dengan kata lain, hanya tulisan egoistis yang “terpaksa” harus aku tulis untuk tidak “meledak” di tempat yang lebih tidak tepat.

Hufh, sekali lagi, perasaan mengganjal ini harus aku sampaikan dalam tulisan tak ilmiah ini. Sangat kontras dengan judulnya yang berbau keilmiahan. Apakah itu? Sedang menyesali kondisi rekan-rekan yang secara logika tidak memakai pendekatan ilmiah dalam aktivitas kesehariannya, padahal secara de jure memiliki status mahasiswa. lalu, apakah itu pendekatan ilmiah? Menurut Dr. Harsono, M.S. (Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta)pendekatan ilmiah adalah cara-cara atau langkah-langkah tertentu agar dapat dicapai pengetahuan yang benar mengenai hal yang dipertanyakannya. Dengan pengertian ini, tentu dituntut satu hal mendasar dalam proses pencarian kebenaran, yaitu referensi ilmiah yang memadai. Sayangnya, hal tersebut jauh dari kondisi rekan-rekan penulis. Mereka cenderung menggunakan logika pribadi yang kadang tak berdasar kuat. Sebagai contoh, dalam diskusi membahas suatu masalah, lebih banyak kata “Menurut saya….” dari pada “Dalam buku blablabla…”

Dalam kacamata yang lebih besar, pemahaman mengenai pendekatan ilmiah ini sangat erat dengan kondisi kultur sosial yang terbentuk dalam masyarakat. Penulis memang secara empiris belum menemukan adanya penelitian yang menyebutkan bahwa kultur sosial di lingkungan penulis tidak ilmiah. Namun, secara umum gejala “jauh dari literatur” ini cukup sederhana untuk dipahami.

Nah, itu ratapan atas “nasib” penulis. lalu bagaimana agar terbentuk iklim kultural yang ilmiah. Dimas Bayu Susanto, mantan Presiden BEM UNS tahun 2006 pernah menyampaikan kepada penulis, “hendaknya kalian membudayakan tiga hal untuk menciptakan kultur ilmiah, yaitu: membaca, diskusi dan menulis”. Sederhana, tetapi sampai saat ini, orang-orang yang juga pernah mendapatkan nasehat ini belum menunjukkan hasil akan adanya penciptaan kultur ilmiah.

Merujuk kepada Teori Paradigma Thomas Kuhn, bahwa memang untuk mengubah kondisi sosial yang pertama kali harus dilakukan adalah merubah paradigma. Sayangnya, dalam kondisi relatif “aman” ini, kebanyakan rekan-rekan penulis memilih untuk tidak mengambangkan kultur ilmiah. Padahal jelas, menurut Joko Suryanto (mahasiswa S2 Sosiologi UGM yang saat ini sedang menyelesaikan tesis), tuntutan zaman yang harus dijawab oleh generasi muda sekarang dapat diawali dengan pembentukan kultur ilmiah dalam diri-diri “pejuang muda” yang kelak akan memimpin bangsa ini.

Saatnya kita keluar dari area nyaman. Dobrak zaman, buat perubahan. Walau memang, menurut paham Komunis, revolusi itu butuh tumbal. Siapa yang akan berani memulainya?
(ditunggu langkah kongkretnya!! SEGERA!!!)


Jatuh Cinta

Desember 28, 2008

Aku baru menyadari bahwa perempuan cenderung mudah jatuh cinta. Tetapi, ini bukan berarti bahwa aku meremehkan perempuan karena akupun juga mudah jatuh cinta. Rumit memang relasi yang terbangun dari intaraksi intens dalam keseharian itu. Walau pada awalnya tidak ada tendensi, namun semua berubah seiring waktu bagaikan sebutir benih yang terguyur air, akan tumbuh, bersemi, besar dan berbunga sampai akhirnya melahirkan buah. Sayang, itu bukan tepat pada saatnya.

Kalau mau mencari siapa yang salah, semua salah atau semuanya tidak ada yang salah, hanya fitrah yang tak terkondisikan dengan baik saja. Kalau si perempuan tidak meyampaikan dan laki-laki tidak memberi perhatian, semua akan berjalan seperti biasa. Namun, kemampuan mengendalikan perasaan inilah yang sering menjadi permasalahan dalam setiap relasi antara dua jenis manusia berbeda ini.

Seorang rekan pernah menyampaikan,”Tidak ada persahabatan sejati antara lawan jenis kecuali ada maksud…”. Dulu, itu tak pernah aku pedulikan, karena aku berpikir bahwa ketika semuanya merasa biasa, semua akan baik-baik saja. Mungkin aku menghilangkan sisi humanitasku yang telah lama aku tinggalkan karena keadaan. Atau sekedar khayalan untuk segera mendapatkan tempat berkeluh kesah, padahal memang belum saatnya.

Ini hanya akumulasi kondisi yang menimpa tiap individu di dunia. Bahwa cinta bagai pisau bermata dua, suka atau derita. Cinta dapat mendamaikan dunia, mensejahterakan manusia dan menunjukkan hakikat kemanusiaan, tetapi kadang hanya menjadi asa, memberi luka dan kejam pada keadaan.

Lalu, apa yang harus dilakukan jika racun cinta yang memabukkan itu tiba-tiba datang dengan kecepatan 120 mil perjam mendera kita? Yah, hanya tameng pengendalian hati dan perasaan saja sehingga tingkah kita tidak melampaui batasan dan tentunya itu bersumber dari tingkat religiusaitas kita.

Saudaraku, cinta itu fitrah. Semua pasti mempunyainya, tidak mungkin tidak. Bahkan binatang sekalipun punya. Maka, semoga kita mendapatkan cinta yang tepat pada tempatnya….. Baca entri selengkapnya »


Kontroversi Pengesahan UU BHP

Desember 23, 2008

Rabu (17/12) yang lalu, setelah sekian lama terjadi pembahasan, akhirnya Rancangan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan disahkan dalam sidang paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Peristiwa tersebut tentunya memberikan sejarah baru dalam “percobaan” format pendidikan di Indonesia. Baca entri selengkapnya »


Menilik Ulang Gerakan Mahasiswa

Desember 23, 2008

Kalimat-kalimat yang kadangkala sloganistis masih terus dipercaya melekat dalam diri gerakan mahasiswa. Semisal agent of change, iron stock atau yang lainnya. Gelaran seperti itu, hendaknya bukan hanya sebuah teriakan kosong tanpa makna dan aplikasi. Gerakan mahasiswa secara organis harus terus berfikir tentang efektivitas strategi dan taktis [stratak] gerakan, terutama ketika struktur sosial, politik dan ekonomi bangsa tengah mengalami perubahan seperti saat ini.

Gerakan mahasiswa dalam perjalanannya selama berpuluh tahun ini telah memberikan kontribusi riil bagi bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde Baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Baca entri selengkapnya »