Siang tadi aku bertemu dengan seorang lelaki berusia 45 tahun. Sebut saja namanya Ali. Lelaki asal Sampang, Madura itu menetap di Solo sejak 20 tahun lalu. Namun, ia mengaku belum mendapatkan jalan untuk meraih rezeki yang besar dari Tuhan.
Bapak itu bercerita, sejak usia belasan tahun ia sudah merantau ke Jakarta. Kala itu ia berjualan satai. Ali kemudian bertemu dengan perempuan pujaan hati yang juga berasal dari Madura di Ibu Kota. Mereka menikah.
Sebulan sebelum istrinya melahirkan anak pertama mereka, ia dan istrinya pulang kampung. Istrinya melahirkan di rumah. Setelah itu Ali kembali ke Jakarta untuk kembali memungut rupiah dari usahanya.
Suatu ketika, seorang keponakannya mengajaknya pindah ke Solo. Entah karena apa, Ali mengiyakan. Ia mengangkut semua barang yang ia miliki ke truk yang sudah disiapkan oleh sang keponakan. Ia sendiri datang ke Solo menggunakan kereta api.
Sesampainya di Solo, Ali kebingungan. Pasalnya, sang keponakan ternyata sudah mendapatkan rumah sewa. Sedang ia bingung menaruh barang yang jumlahnya tak sedikit. Ia pun menitipkan barang-barang itu kepada orang yang ia temui.
Ali akhirnya mendapatkan rumah sewa di daerah Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Ia kemudian menjemput sang istri dan anaknya untuk ikut ke Solo. Hal itu terjadi pada 1995.
Rupanya, nasib mujur belum menghampirinya. Di Solo, Ali tak menemukan usaha yang cocok. Awalnya ia mencoba berjualan satai ayam menggunakan gerobak. Saat itu, gerobak dorong belum familiar bagi masyarakat Solo. Tren yang berkembang, satai dijual dengan dipikul.
Ia lalu banting setir dengan berjualan nasi goreng. Di Jakarta, penjual nasi goreng biasa menjajakan makanan menggunakan kentongan. Nahas, hal itu membuat berang warga kampung dan tokoh-tokoh masyarakat. Kentongan adalah tanda sakral untuk mengabarkan kejadian luar biasa.
“Saya dimarahi macam-macam. Tapi saya jawab kalau saya baru tiba di sini. Saya dari Jakarta,” ungkap dia.
Salah seorang rekannya kemudian menawari Ali untuk berjualan bubur ayam. Peralatan dan lokasi sudah disiapkan sang kawan. Ali menggelontorkan dana Rp1 juta [saat itu uang Rp1 juta sangatlah banyak nilainya] untuk menebus alat-alat dan tempat berjualan yang ada di depan Pabrik Rokok Jitoe, Kerten, Laweyan.
Nasib mujur belum juga datang. Selama tiga bulan berjualan, ia harus tombok Rp1,5 juta. Tak ingin semakin terpuruk, ia menjual peralatan itu senilai Rp600.000. Ia lantas membeli gerobak becak untuk berjualan nasi goreng seharga Rp600.000.
Usahanya ternyata tak cukup untuk memberi makan anak-istri. Istrinya lalu berinisiatif berjualan satai ayam lagi. Singkat cerita, ia kemudian diberi tempat di sepetak lahan di seberang jalan rumah dinas kepala Kantor Pos Laweyan di Kerten. Tanah itu digunakan untuk membangun tempat cukur Madura sederhana. Tak lama setelah itu, kepala kantor pos laweyan memberikan bantuan memperbaiki tempat potong rambutnya. Dalam sehari, pendapatannya tak tentu. Kadang ada 10 orang yang datang, kadang kurang, kadang lebih. Berepapun hasil yang diperoleh ia syukuri.
Ali menilai, semua yang ia lakukan adalah kehendak Tuhan yang harus dilalui. Mungkin ada orang yang dengan mudah mendapatkan jalan rezekinya. Tapi Ali belum mendapatkan itu. Kini, selain sibuk berjualan satai, pada sore hari ia masih membuka tempat cukurnya. Ia berharap akan hidup yang lebih baik di waktu-waktu mendatang.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah cukup legawa menerima takdir yang diberikan Tuhan kepada kita? Atau kita masih terlalu sombong untuk mensyukuri semua karunianya? Itulah kita, manusia….
(Surakarta, 13/11/2015)