KERING DI PENGHUJUNG MUSIM

Pohon-pohon jati meranggas. Daun-daunnya berguguran tak beraturan. Pun demikian pula kondisi daun tanaman olokopok, layu. Rerumputan di kanan kiri jalan juga terlihat kering. Hampir semua lahan ladang yang masih ditumbuhi singkong merekah, retak-retak di semua sisinya. Meski hari baru menunjukkan jam tiga sore, tetapi hembusan hawa dingin terasa menusuk kulit. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Sudah sekitar sebulan kejadian seperti  ini terjadi di daerah perbatasan  antara Jawa Tengah-Yogyakarta. Tepatnya di Dusun Pakel, Desa Pringombo, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul.

Sutiman, pria paruh baya yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari bertani dan beternak sapi mengeluhkan kondisi ini. Sudah dua kali keluarganya terpaksa membeli air dari truk tangki bertuliskan 6000 liter yang akhir-akhir ini lalu lalang melewati perbatasan provonsi. Truk-truk itu mengambil air dari salah satu mata air di daerah Pracimantoro yang sudah masuk kawasan Wonogiri, Jawa Tengah kemudian mendistribusikannya ke hampir seluruh pelosok Kecamatan Rongkop. “Setangki harganya Rp 90.000 Mas,” ungkapnya dengan mimik muka datar bersemu sendu.

Sutiman terpaksa melakukannya, karena keluarganya membutuhkan air bersih untuk memasak, mencuci dan lebih-lebih karena seekor sapi tumpuan harapan yang dikandangkan di dekat rumahnya. Sapi itu perlu diberi komboran (air yang dicambur bekatul dan garam grosok) agar tidak kurus. Komboran tadi menjadi semacam suplemen makanan bagi sapi karena kurangnya makanan. Tujuannya, tak lain agar sewaktu-waktu membutuhkan uang bisa dijual dengan harga yang tidak terlalu jatuh. Pada kondisi musim seperti ini, daun-daun hijau susah didapat. Maka, banyak peternak di desanya yang rela membeli seikat pohon jagung seharga Rp 10.000 setiap hari demi sapi-sapi mereka. “Mau gimana lagi Mas? Kalau nggak diberi pakan, sapi saya bisa kurus kering,” ungkap Sutiman.

Sutiman masih cukup beruntung. Pada daerah yang lebih jauh dari perbatasan, harga satu tangki air bisa mencapai Rp 150.000. harga-harga tersebut diatur sepihak oleh pemilik truk. Masyarakat tak bisa apa-apa. Mereka tak punya pilihan, hanya mencoba bertahan dalam kondisi alam yang kurang bersahabat. Telaga-telaga yang dulu masih memiliki belik (ceruk tempat keluarnya air) di musim kemarau, sekarang tak lagi ada. Bahkan, telaga-telaga itu lebih tandus dari ladang-ladang yang ada. Aliran air PDAM juga telah berhenti mengalir. Pemerintah sampai saat ini belum mengambil tindakan apapun. Sutiman tak tahu, kapan langit akan bermurah hati menurunkan hujan? Ia hanya terus berharap.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: