Penciptaan Kultur Ilmiah

Februari 24, 2010

Lama tak aku tulis untauan kata dalam blog ini sejak beberapa waktu lalu. gak tahu, adakah yang menungguku menulis tulisan-tulisan tak bermutu yang lebih sering hanya merupakan luapan amarah, emosi, kekecewaan dan kritik-kritik atas semua masalah dalam lingkupan hidupku. Dengan kata lain, hanya tulisan egoistis yang “terpaksa” harus aku tulis untuk tidak “meledak” di tempat yang lebih tidak tepat.

Hufh, sekali lagi, perasaan mengganjal ini harus aku sampaikan dalam tulisan tak ilmiah ini. Sangat kontras dengan judulnya yang berbau keilmiahan. Apakah itu? Sedang menyesali kondisi rekan-rekan yang secara logika tidak memakai pendekatan ilmiah dalam aktivitas kesehariannya, padahal secara de jure memiliki status mahasiswa. lalu, apakah itu pendekatan ilmiah? Menurut Dr. Harsono, M.S. (Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta)pendekatan ilmiah adalah cara-cara atau langkah-langkah tertentu agar dapat dicapai pengetahuan yang benar mengenai hal yang dipertanyakannya. Dengan pengertian ini, tentu dituntut satu hal mendasar dalam proses pencarian kebenaran, yaitu referensi ilmiah yang memadai. Sayangnya, hal tersebut jauh dari kondisi rekan-rekan penulis. Mereka cenderung menggunakan logika pribadi yang kadang tak berdasar kuat. Sebagai contoh, dalam diskusi membahas suatu masalah, lebih banyak kata “Menurut saya….” dari pada “Dalam buku blablabla…”

Dalam kacamata yang lebih besar, pemahaman mengenai pendekatan ilmiah ini sangat erat dengan kondisi kultur sosial yang terbentuk dalam masyarakat. Penulis memang secara empiris belum menemukan adanya penelitian yang menyebutkan bahwa kultur sosial di lingkungan penulis tidak ilmiah. Namun, secara umum gejala “jauh dari literatur” ini cukup sederhana untuk dipahami.

Nah, itu ratapan atas “nasib” penulis. lalu bagaimana agar terbentuk iklim kultural yang ilmiah. Dimas Bayu Susanto, mantan Presiden BEM UNS tahun 2006 pernah menyampaikan kepada penulis, “hendaknya kalian membudayakan tiga hal untuk menciptakan kultur ilmiah, yaitu: membaca, diskusi dan menulis”. Sederhana, tetapi sampai saat ini, orang-orang yang juga pernah mendapatkan nasehat ini belum menunjukkan hasil akan adanya penciptaan kultur ilmiah.

Merujuk kepada Teori Paradigma Thomas Kuhn, bahwa memang untuk mengubah kondisi sosial yang pertama kali harus dilakukan adalah merubah paradigma. Sayangnya, dalam kondisi relatif “aman” ini, kebanyakan rekan-rekan penulis memilih untuk tidak mengambangkan kultur ilmiah. Padahal jelas, menurut Joko Suryanto (mahasiswa S2 Sosiologi UGM yang saat ini sedang menyelesaikan tesis), tuntutan zaman yang harus dijawab oleh generasi muda sekarang dapat diawali dengan pembentukan kultur ilmiah dalam diri-diri “pejuang muda” yang kelak akan memimpin bangsa ini.

Saatnya kita keluar dari area nyaman. Dobrak zaman, buat perubahan. Walau memang, menurut paham Komunis, revolusi itu butuh tumbal. Siapa yang akan berani memulainya?
(ditunggu langkah kongkretnya!! SEGERA!!!)