Melihat dunia “luar”, ternyata lebih luar biasa daripada dunia “dalam”. Ini mungkin hanya masalah subjektifitas karena berbagai latar belakang kondisi, tetapi dikotomi dua dunia ini saat ini begitu terasa, bahkan bagi diriku yang masih berada dalam persimpangan ini.
Apa itu dunia “luar”? dan apa pula itu dunia “dalam”?
Jawabannya tergantung tiap individu untuk memaknai, tetapi diriku melihat hal itu sebagai kontekstual tempatku berpijak, kampus. Kampus adalah dunia “dalam” dan masyarakat luas adalah dunia “luar”. Lalu, apa yang istimewa dari dunia “luar” dibanding dunia “dalam”? Memang, kita tidak bisa mengingkari bahwa terdapat sejuta keunggulan dunia “dalam”, namun sisi unggul itu akan menjadi sisi lemah di dunia “luar”. Begini penjelasannya:
Dunia kampus merupakan dunia intelektual. Gampangannya, segoblok-gobloknya orang kampus, tetapi tetep intelek. Logika keilmuan adalah ujung tombak pemahaman terhadap masalah yang terjadi. Kondisi ini menimbulkan kondusifitas dalam keberagaman kepentingan dan tindakan. Masalah, dipecahkan secara rasional, hanya jarang terjadi peristiwa yang diakibatkan dari penyelesaian masalah dengan jalan brutal
Berbede dengan logika dunia luar yang lebih kultural, maka dunia kampus terkesan struktural. (atau kebalik ya? gak apalah, ini kan subjektif). Banyak orang kampus yang setelah tidak di kampus bingung dengan kondisi dunia “luar” karena dinamika yang terjadi sangat ekstrem. Tidak jarang, konflik justru terjadi karena manusi dari dunia “baru” ini terlihat “sok” di hadapan orang dunia “luar”.
Butuh penyesuaian dan pembelajaran yang luar biasa berat agar orang “dalam” dapat bertahan di dunia nyatanya, dunia “luar”. Dalam teori “PISANG GORENG” yang disampaikan oleh Pak Jatmiko, beliau menyatakan, yang kurang lebih adalah:
“Orang itu paham secara teori, bahwa membuat pisang goreng yang lezat itu memerlukan pisang khusus, misal pisang raja; tepung terigu; gula; garam secukupnya; wajan untuk menggoreng; minyak goreng berkualitas dsb. Tetapi, ketika orang yang berteori tadi melaksanakan teori itu, apakah ada jaminan bahwa pisang goreng buatannya akan lezat dan mak nyus, gitu kata Pak Bondan dalam Wisata Kulinernya Trans TV??? Belum tentu, dan bahkan mungkin malah tidak enak.
Trus, gimana biar bisa mak nyus??? Ya, mencoba, mencoba, dan mencoba.”
Maka dari itu, agar kita tidak belajar dari nol waktu kita berada di dunia “luar”, maka kita jangan sampai melupakan bagaimana rasa dunia “luar” itu sendiri.
Pembuktian dari segala teoritisasi dunia “dalam” hanya akan menunjukkan kesejatiannya di dunia “luar”.
Selamat Berproses!!!! Never Give Up!!!